Siapa Sebenarnya Soeharto?
Bulan November 41 tahun lalu, Jenderal
Suharto yang telah sukses mengkudeta Bung Karno, mengirim satu tim
ekonomi yang terdiri dari Prof. Sadli, Prof. Soemitro Djoyohadikusumoh,
dan sejumlah profesor ekonomi lulusan Berkeley University AS—sebab itu
tim ekonomi ini juga disebut sebagai ‘Berkeley Mafia’—ke Swiss. Mereka
hendak menggelar pertemuan dengan sejumlah konglomerat Yahudi dunia
yang dipimpin Rockefeller.
Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya John Pilger berjudul “The New Ruler of the World’ yang bisa didownload di situs youtube,
tim ekonomi suruhan Jenderal Suharto ini menggadaikan seluruh kekayaan
alam negeri ini ke hadapan Rockefeler cs. Dengan seenak perutnya,
mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan memberikannya kepada
pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut. Gunung emas di Papua diserahkan
kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya.
Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di
Swiss, menuruti kehendak para pengusaha Yahudi tersebut.
Sampai detik ini, saat Suharto sudah
menemui ajal dan dikuburkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat
Imogiri, di sebuah daratan dengan ketinggian 666 meter di atas
permukaan laut (!?), perampokan atas seluruh kekayaan alam negeri ini
masih saja terus berjalan dan dikerjakan dengan sangat leluasa oleh
berbagai korporasi Yahudi Dunia. Hasilnya bisa kita lihat di mana-mana:
angka kemiskinan di negeri ini kian membengkak, kian banyak anak putus
sekolah, kian banyak anak-anak kecil berkeliaran di jalan-jalan raya,
kian banyak orangtua putus asa dan bunuh diri, kian banyak orang gila
berkeliaran di kampung-kampung, kian banyak kriminalitas, kian banyak
kasus-kasus korupsi, dan sederet lagi fakta-fakta tak terbantahkan jika
negeri ini tengah meluncur ke jurang kehancuran. Suharto adalah dalang
dari semua ini.
Tapi siapa sangka, walau sudah banyak
sekali buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia dari dalam dan luar
negeri tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan di saat Jenderal
Suharto berkuasa selama lebih kuarng 32 tahun, dengan jutaan fakta dan
dokumen yang tak terbantahkan, namun nama Suharto masih saja dianggap
harum oleh sejumlah kalangan. Bahkan ada yang begitu konyol mengusulkan
agar sosok yang oleh Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal Keras
Kepala (Belanda: Koepeg) diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar guru bangsa. Walau menggelikan, namun hal tersebut adalah fakta.
Sebab itu, tulisan ini berusaha
memaparkan apa adanya tentang Jenderal Suharto. Agar setidaknya, mereka
yang menganggap Suharto layak diberi gelar guru bangsa atau pun
pahlawan nasional, harus bisa bermuhasabah dan melakukan renungan yang
lebih dalam, sudah benarkah tindakan tersebut.
Fakta sejarah harus ditegakkan, bersalah
atau tidak seorang Suharto harus diputuskan lewat jalan hukum yakni
lewat jalur pengadilan. Adalah sangat gegabah menyerukan rakyat ini
agar memaafkan dosa-dosa seorang Suharto sebelum kita semua tahu apa
saja dosa-dosa Suharto karena dia memang belum pernah diseret ke muka
pengadilan.
Tulisan ini akan berupaya memotret
perjalanan seorang Suharto, sebelum dan sesudah menjadi presiden. Agar
tidak ada lagi pemikiran yang berkata, “Biar Suharto punya salah, tapi
dia tetap punya andil besar membangun negara ini. Hasil kerja dan
pembangunannya bisa kita rasakan bersama saat ini. Lihat, banyak
gedung-gedung megah berdiri di Jakarta, jalan-jalan protokol yang besar
dan mulus, jalan tol yang kuat, Taman Mini Indonesia Indah yang murah
meriah, dan sebagainya. Jelas, bagaimana pun, Suharto berjasa besar
dalam membangun negara ini!”
Atau tidak ada lagi orang yang berkata,
“Zaman Suharto lebih enak ketimbang sekarang, harga barang-barang bisa
murah, tidak seperti sekarang yang serba mahal. Akan lebih baik kalau
kita kembali ke masa Suharto…” Hanya orang-orang Suhartoislah, yang
mendapat bagian dari pesta uang panas di zaman Orde Baru dan mungkin
juga sekarang, yang berani mengucapkan itu. Atau kalau tidak, ya bisa
jadi, mereka orang-orang yang belum tercerahkan.
Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo,
Yogyakarta, 8 Juni 1921, dari keluarga petani yang menganut kejawen.
Keyakinan keluarganya ini kelak terus dipeliharanya hingga hari tua.
Karirnya diawali sebagai karyawan di sebuah bank pedesaan, walau tidak
lama.
Dia sempat juga menjadi buruh dan
kemudian menempuh karir militer pertama kali sebagai prajurit KNIL yang
berada di bawah kesatuan tentara penjajah Belanda. Saat Jepang masuk
di tahun 1942, Suharto bergabung dengan PETA. Ketika Soekarno
memproklamirkan kemerdekaan, Soeharto bergabung dengan TKR.
Salah satu ‘prestasi’ kemiliteran
Suharto yang sering digembar-gemborkannya semasa dia berkuasa adalah
Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta. Bahkan ‘prestasi’ ini
sengaja difilmkan dengan judul ‘Janur Kuning’ (1979) yang
memperlihatkan jika serangan umum itu diprakarsai dan dipimpin langsung
oleh Letkol Suharto. Padahal, sesungguhnya serangan umum itu
diprakarsai Sultan Hamengkubuwono IX. Hamengkubuwono IX lah yang
memimpin serangan umum melawan Belanda. Hamengkubuwono IX adalah
seorang nasionalis yang memiliki perhatian terhadap nasib rakyatnya,
karena itu ia tidak mau untuk di jajah. (lihat biografi Sultan
Hamengkubuwono IX).
Pada 1959, Suharto yang kala itu
menjabat sebagai Pangdam Diponegoro dipecat oleh Nasution dengan tidak
hormat karena Suharto telah menggunakan institusi militernya untuk
mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Suharto
kala itu juga ketahuan ikut kegiatan ilegal berupa penyelundupan gula
dan kapuk bersama Bob Hasan dan Liem Sioe Liong.
Untuk memperlancar penyelundupan ini,
didirikan prusahaan perkapalan yang dikendalikan Bob Hasan. Konon,
dalam menjalankan bisnis haramnya ini, Bob menggunakan kapal-kapal
‘Indonesian Overseas’ milik C.M. Chow. Siapa C.M. Chow ini? Dia adalah
agen ganda. Pada 1950 dia menjadi agen rahasia militer Jepang di
Shanghai. Tapi dia pun kepanjangan tangan Mao Tse Tung, dalam merekrut
Cina perantauan dari orang Jepang ke dalam jaringan komunis Asia.
Pada 1943, Chow ditugasi Jepang ke Jakarta. Ketika Jepang hengkang
dari Indonesia, Chow tetap di Jakarta dan membuka usaha perkapalan
pertama di negeri ini. Chow bukan saja membina WNI Cina di Jawa Tengah
dan Timur, namun juga di Sumatera dan Sulawesi. Salah satu binaannya
adalah ayah Eddy Tansil dan Hendra Rahardja yang bermarga Tan. Tan
merupakan sleeping agent Mao di Indonesia Timur. Pada
pertengahan 1980-an, Hendra Rahardja dan Liem Sioe Liong mendirikan
sejumlah pabrik di Fujian, Cina (Siapa Sebenarnya Suharto; Eros Djarot;
2006).
Nasution kala itu sangat marah sehingga
ingin memecat Suharto dari AD dan menyeretnya ke Mahkamah Militer,
namun atas desakan Gatot Subroto, Suharto dibebaskan dan akhirnya
dikirim ke SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat). Selain
Nasution, Yani juga marah atas ulah Suharto dan di kemudian hari
mencoret nama Suharto dari daftar peserta pelatihan di SSKAD, yang mana
hal ini membuat Suharto dendam sekali terhadap Yani. Terlebih Amad
Yani adalah anak kesayangan Bung Karno.
Kolonel Pranoto Rekso Samoedro diangkat
sebagai Pangdam Diponegoro menggantikan Suharto. Pranoto, sang perwira
'santri', menarik kembali semua fasilitas milik Kodam Diponegoro yang
dipinjamkan Suharto kepada para pengusaha Cina untuk kepentingan
pribadinya. Suharto sangat sakit hati dan dendam terhadap Pranoto, juga
terhadap Nasution dan Yani.
Di SSKAD, Suharto dicalonkan untuk
menjadi Ketua Senat. Namun DI. Panjaitan menolak keras dengan
menyatakan dirinya tidak percaya dengan Suharto yang dinilainya tidak
bisa dipercaya karena mempunyai banyak catatan kotor dalam kair
militernya, antara lain penyelundupan bersama para pengusaha Cina
dengan dalih untuk membangun kesatuannya, namun yang terjadi adalah
untuk memperkaya dirinya.
Atas kejadian itu Suharto sangat marah.
Bertambah lagi dendam Suharto, selain kepada Nasution, Yani, Pranoto,
kini Panjaitan. Aneh tapi nyata, dalam peristiwa 1 Oktober 1965,
musuh-musuh Suharto—Nasution, Yani, dan Panjaitan—menjadi target
pembunuhan, sedangkan Suharto sendiri yang merupakan orang kedua di AD
tidak masuk dalam daftar kematian.
Dan ketika Yani terbunuh, Bung Karno
mengangkat Pranoto Rekso Samudro sebagai Kepala Staf AD, namun Pranoto
dijegal oleh Suharto sehingga Suhartolah yang mengambil-alih
kepemimpinan AD, sehingga untuk menghindari pertumpahan darah dan
perangsaudara—karena Siliwangi di Jawa Barat (Ibrahim Adjie) dan KKO
(Marinir) di Jawa Timur telah bersumpah untuk berada di belakang
Soekarno dan jika Soekarno memerintahkan untuk ‘menyapu’ kekuatan
Suharto di Jakarta, maka mereka menyatakan siap untuk berperang—maka
Soekarno melantik Suharto sebagai Panglima AD pada 14 Oktober 1965.
Pasca Perang Dunia II, AS melihat Rusia
sebagai satu-satunya pihak yang bisa menghalangi hegemoninya atas
dunia. Diluncurkanlah Marshall Plan sebagai upaya membendung pengaruh
komunisme yang kian lama kian meluas, dari Eropa Timur ke arah Asia
selatan, sebuah wilayah yang sangat strategis dari sisi perdagangan
dunia dan geopolitik, juga sangat kaya dengan sumber daya alam dan juga
manusianya. AS sangat cemas jika wilayah tersebut dikuasai Soviet.
Dari semua negeri di wilayah itu, Indonesia-lah negara yang paling
strategis dan paling kaya. AS sangat paham akan hal ini, sebab itu di
wilayah ini Indonesia merupakan satu-satunya wilayah yang disebut dalam
Marshall Plan.
Namun untuk menundukkan Indonesia, AS
jelas kesulitan karena negeri ini tengah dipimpin oleh seorang yang
sukar diatur, cerdas, dan licin. Dialah Bung Karno. Tiada jalan lain,
orang ini harus ditumbangkan, dengan berbagai cara. Sejarah telah
mencatat dengan baik bagaimana CIA ikut terlibat langsung berbagai
pemberontakan terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina
kader-kadernya di bidang pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia
Berkeley), mendekati dan menunggangi partai politik demi kepentingannya
(antara lain lewat PSI), membina sel binaannya di ketentaraan (local army friend)
dan sebagainya. Setelah berkali-kali gagal mendongkel Bung Karno dan
bahkan sampai hendak membunuhnya, akhirnya pada paruh akhir 1965, Bung
Karno berhasil disingkirkan.
Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, secara de facto,
Jenderal Suharto mengendalikan negeri ini. Pekan ketiga sampai dengan
awal 1966, Jenderal Suharto menugaskan para kaki tangannya membantai
mungkin jumlahnya mencapai jutaan orang. Mereka yang dibunuh adalah
orang-orang yag dituduh kader atau simpatisan komunis (PKI), tanpa
melewati proses pengadilan yang fair. Media internasional
bungkam terhadap kejahatan kemanusiaan yang melebihi kejahatan rezim
Polpot di Kamboja ini, karena memang AS sangat diuntungkan.
Jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal
Suharto dirayakan dengan penuh suka cita oleh Washington. Bahkan
Presiden Nixon menyebutnya sebagai “Hadiah terbesar dari Asia
Tenggara”. Satu negeri dengan wilayah yang sangat strategis, kaya raya
dengan sumber daya alam, segenap bahan tambang, dan sebagainya ini
telah berhasil dikuasai dan dalam waktu singkat akan dijadikan ‘sapi
perahan’ bagi kejayaan imperialisme Barat.
Benar saja, Nopember 1967, Jenderal
Suharto menugaskan satu tim ekonom pro-AS menemui para 'bos' Yahudi
Internasional di Swiss. Disertasi Doktoral Brad Sampson, dari Northwestern University AS
menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru. Prof. Jeffrey
Winters diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal Australia, John
Pilger dalam The New Rulers of The World, mengutip Sampson dan menulis:
“Dalam bulan November 1967, menyusul
tertangkapnya ‘hadiah terbesar’ (istilah pemerintah AS untuk Indonesia
setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil
tangkapannya itu dibagi-bagi. The Time Life Corporation mensponsori
konferensi istimewa di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari
membahas strategi pengambil-alihan Indonesia.
Para pesertanya terdiri dari seluruh
kapitalis yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang seperti David
Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial
Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco,
American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank,
Chase Manhattan, dan sebagainya.”
Di seberang meja, duduk orang-orang
Soeharto yang oleh Rockefeller dan pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya
disebut sebagai ‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup’.
“Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal
dengan sebutan ‘The Berkeley Mafia’ karena beberapa di antaranya pernah
menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di
Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta
yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang
hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya.
Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah,
cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.”
Masih dalam kutipan John Pilger,
“Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi sektor demi sektor.”
Prof. Jeffrey Winters menyebutnya, “Ini dilakukan dengan cara yang amat
spektakuler.”
“Mereka membaginya dalam lima seksi:
pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan
di kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang
dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang
mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para
investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini
berkeliling dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami
inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.’ Dan mereka pada
dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya
produk hukum yang sangat menguntungkan mereka. Saya tidak pernah
mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk
dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan
merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya
sendiri.”
Freeport mendapatkan gunung
tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk
dalam Dewan Komisaris). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di
Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari
bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis
mendapatkan hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua
Barat.
Sebuah undang-undang tentang penanaman
modal asing yang dengan terburu-buru disodorkan kepada Presiden
Soeharto membuat perampokan negara yang direstui pemerintah itu bebas
pajak untuk lima tahun lamanya. Oleh Suharto, rakyat dijejali dengan
propaganda pembangunan, Pancasila, dan trickle down effect
terhadap peningkatan kesejahteraannya, tapi fakta yang terjadi di
lapangan sesungguhnya adalah proses pemiskinan bangsa secara sistematis
yang dilakukan rezim Suharto.
Pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto
dilantik sebagai Presiden RI ke-2. Tiga bulan kemudian, dia membentuk
Tim Ahli Ekonomi Kepresidenan yang terdiri dari Prof Dr. Widjojo
Nitisastro, Prof. Dr. Ali Wardhana, Prof Dr. Moh. Sadli, Prof Dr.
Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr. Subroto, Dr. Emil Salim, Drs. Frans
Seda, dan Drs. Radius Prawiro. Seluruhnya pro kapitalisme.
Nopember 1967, Suharto mengirim tim
ekonomi ini ke Swiss menemui para CEO Yahudi Internasional. Lahirlah UU
PMA 1967 yang sangat menguntungkan imperialis Barat. Prinsip
kemandirian ekonomi Indonesia yang dijaga mati-matian Bung Karno, oleh
Jenderal Suharto dihabisi dengan menjadikan Indonesia sebagai negara
yang sangat tergantung pada Barat sebagai kekuatan kapitalis dunia.
“Indonesia Baru” yang lebih
pro-kapitalisme sesungguhnya telah dirancang sejak tahun-tahun 1950-an.
David Ransom dalam artikelnya yang populer berjudul “Mafia Berkeley
dan Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari
Universitas-Universitas AS Masuk ke Indonesia” (Ramparts, 1970)
memaparkan jika AS menggunakan dua strategi untuk menaklukkan
Indonesia, tentu saja dengan menyingkirkan Bung Karno. Pertama,
membangun satu kelompok intelektuil yang berpikiran Barat. Dan kedua,
membangun satu sel dalam tubuh ketentaraan yang siap bekerjasama dengan
AS.
Yang pertama didalangi oleh berbagai
yayasan beasiswa seperti Ford Foundation dan Rockeffeler Foundation,
juga berbagai universitas ternama AS seperti Berkeley, Harvard,
Cornell, dan juga MIT. David Ransom menulis, dua tokoh Partai Sosialis
Indonesia (PSI), sebuah partai kecil yang berhaluan sosialis-kanan,
yakni Soedjatmoko dan Sumitro Djojohadikusumo menjadi ujung tombak
pembentukan jaringan intelektuil pro-Barat di Indonesia. Mereka,
demikian Ransom, dibina oleh AS sejak akhir tahun 1949-an.
Sedang tugas kedua dilimpahkan kepada
CIA. Salah satu agennya bernama Guy Pauker yang bergabung dengan RAND
Corporation mendekati sejumlah perwira tinggi lewat salah seorang yang
dikatakan berhasil direkrut CIA, yakni Deputi Dan Seskoad Kol.
Soewarto. Dan Intel Achmad Soekendro juga dikenal dekat dengan CIA.
Lewat orang inilah, demikian Ransom, komplotan AS, mendekati militer.
Suharto adalah murid dari Soewarto di Seskoad.
Di Seskoad inilah para intelektuil
binaan AS diberi kesempatan mengajar para perwira. Terbentuklah jalinan
kerjasama antara sipil-militer yang pro-AS. Paska tragedi 1965 dan
pembantaian rakyat Indonesia, yang dituduh komunis, dan kelompok ini
mulai membangun ‘Indonesia Baru’. Para doktor ekonomi yang mendapat
binaan dari Ford kembali ke Indonesia dan segera bergabung dengan
kelompok ini, di antara Emil Salim.
Jenderal Suharto membentuk Trium-Virat
(pemerintahan bersama tiga kaki) dengan Adam Malik dan Sultan
Hamengkubuwono IX. Ransom menulis, “Pada 12 April 1967, Sultan
mengumumkan satu pernyataan politik yang amat penting yakni garis
besar program ekonomi rejim baru itu yang menegaskan mereka akan
membawa Indonesia kembali ke pangkuan Imperialis. Kebijakan tersebut
ditulis oleh Widjojo dan Sadli.”
Ransom melanjutkan, “Dalam merinci lebih
lanjut program ekonomi yang baru saja di gariskan Sultan, para
teknokrat dibimbing oleh AS. Saat Widjojo kebingungan menyusun program
stabilisasi ekonomi, AID mendatangkan David Cole, ekonom Harvard yang
baru saja membuat regulasi perbankan di Korea Selatan untuk membantu
Widjojo. Sadli juga sama, meski sudah doktor, tapi masih memerlukan
“bimbingan”. Menurut seorang pegawai Kedubes AS, “Sadli benar-benar
tidak tahu bagaimana seharusnya membuat suatu regulasi Penanaman Modal
Asing. Dia harus mendapatkan banyak dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Ini merupakan tahap awal dari program
Rancangan Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) Suharto, yang disusun
oleh para ekonom Indonesia didikan AS, yang masih secara langsung
dimbing oleh para ekonom AS sendiri dengan kerjasama dari berbagai
yayasan yang ada.
Juni 1968, Jenderal Suharto secara
diam-diam dan mendadak mengadakan reuni dengan orang-orang binaan
Ford, yang dikenal sebagai “Mafia Berkeley” (untuk merancangkan susunan
Kabinet Pembangunan dan badan-badan penting tingkat tinggi lainnya):
sebagai Menteri Perdagangan ditunjuk Dekan FEUI Sumitro Djojohadikusumo
(Doctor of Philosophy dari Rotterdam), Ketua BPPN ditunjuk Widjojo
Nitisastro (Doctor of Philosophy Berkeley, 1961), Wakil Ketua BPN
ditunjuk Emil Salim (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1964 ), Dirjen
Pemasaran dan Perdagangan ditunjuk Subroto (Doctor of Philosophy dari
Harvard, 1964), Menteri Keuangan ditunjuk Ali Wardhana (Doctor of
Philosophy, Berkeley, 1962), Ketua Team PMA Moh. Sadli (Master of
Science, MIT, 1956), Sekjen Departemen Perindustrian ditunjuk Barli
Halim (MBA Berkeley, 1959), sedang Sudjatmoko, penasehat Adam Malik,
diangkat jadi Duta Besar di Washington, posisi kunci poros
Jakarta-Washington.
Tim ekonomi “Indonesia Baru” ini bekeja dengan arahan langsung dari Tim Studi Pembangunan Harvard (Development Advisory Service, DAS) yang dibiayai Ford Foundation. “Kita bekerja di belakang layar,” aku Wakil Direktur DAS Lister Gordon. AS segera memback-up
penguasa baru ini dengan segenap daya sehingga stabilitas ekonomi
Indonesia yang sengaja dirusak oleh AS pada masa sebelum 1965 bisa
sedikit demi sedikit dipulihkan.
Mereka inilah yang berada dibelakang
Repelita yang mulai dijalankan pada awal 1969, dengan mengutamakan
penanaman modal asing dan swasembada hasil pertanian. Dalam banyak
kasus, pejabat birokrasi pusat mengandalkan pejabat militer di
daerah-daerah untuk mengawasi kelancaran program Ford ini.
Mereka bekerjasama dengan para tokoh
daerah yang terdiri dari para tuan tanah dan pejabat administratif.
Terbentuklah kelompok baru di daerah-daerah yang bekerja untuk
memperkaya diri dan keluarganya. Mereka, kelompok pusat dan kelompok
daerah, bersimbiosis-mutualisme. Mereka juga menindas para petani yang
bekerja di lapangan.
Benih Orde Baru tumbuh di atas genangan
darah dan tetesan air mata rakyatnya. Arah pembangunan (Repelita)
didesain sesuai dengan keinginan Washington dengan mengutamakan
eksploitasi segenap kekayaan alam bumi Indonesia yang dikeruk
habis-habisan dan diangkut ke luar guna memperkaya negeri-negeri Barat.
Inti pergantian kekuasaan dari Bung
Karno ke Jenderal Besar Suharto adalah berubahnya prinsip pembangunan
ekonomi Indonesia, dari kemandirian menjadi ketergantungan. April 1966
Suharto kembali membawa Indonesia bergabung dengan PBB. Setelah itu,
Mei 1966, Adam Malik mengumumkan jika Indonesia kembali menggandeng
IMF. Padahal Bung Karno pernah mengusir mereka dengan kalimatnya yang
terkenal: “Go to hell with your aid!”
Untuk menjaga stabilitas penjarahan
kekayaan negeri ini, maka Barat merancang Repelita. Tiga perempat
anggaran Repelita I (1969-1974) berasal dari utang luar negeri.
“Jumlahnya membengkak hingga US$ 877 juta pada akhir periode. Pada
1972, utang asing baru yang diperoleh sejak tahun 1966 sudah melebihi
pengeluaran saat Soekarno berkuasa.” (M.C. Ricklefs; Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004; Sept 2007).
Dalam hitungan bulan setelah berkuasa,
kecenderungan pemerintahan baru ini untuk memperkaya diri dan
keluarganya kian menggila. Rakyat yang miskin bertambah miskin, sedang
para pejabat walau sering menyuruh rakyat agar hidup sederhana, namun
kehidupan mereka sendiri kian hari kian mewah. Bulan madu antara Suharto
dengan para mahasiswa yang dulu mendukungnya dengan cepat pudar.
Mahasiswa melihat penguasa baru ini pun tidak beres. Militer dipelihara dan digunakan sebagai tameng penjaga status-quo.
Kekuatan politik rakyat dibabat habis dengan dibonsainya partai-partai
politik hingga hanya ada tiga: Golkar, PPP, dan PDI. “Pada Februari
1970, pemerintah mengumumkan semua pegawai negeri harus setia kepada
pemerintah. Mereka tidak diizinan bergabung dengan partai politik lain
kecuali Golkar,” demikian Ricklefs.
Unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan di
depan Kantor Pangdam Siliwangi dan juga Kantor Gubernur Jawa Barat, 9
Oktober 1970, dengan keras mengecam kelakuan tentara yang kian hari
kian dianggap repressif. Delapan tuntutan kala itu disampaikan:
Kebalkah ABRI terhadap hukum! Mengapa pakaian seragam diangap lebih
mampu? Apakah seragam sama dengan karcis kereta-api, bioskop, bus,
opelet? Kapan ABRI berubah kelakuan? Siapa berani tertibkan ABRI? Kapan
ada jaminan hukum bagi rakyat? Sudah merdekakah kita dari
kesewenang-wenangan hukum?” (Francois Raillon; Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia 1966-1974; Des 1985).
Francis Raillon menulis, “Sepanjang
1972-1973 di sekitar Suharto terjadi rebutan pengaruh antara ‘kelompok
Amerika’ melawan ‘kelompok Jepang’. Yang pertama terdiri dari para
menteri teknokrat dan sejumlah Jenderal, Pangkopkamtib Jend. Soemitro
salah satunya. Kelompok kedua, dipimpin Aspri Presiden, Jend. Ali
Moertopo, dan Jend. Soedjono Hoemardhani.”
Suharto memang seorang pemimpin yang
sangat lihai, dan tentu saja licin bagai belut yang berenang di dalam
genangan oli. Dia memanfaatkan semua orang yang berada di sekelilingnya
guna memperkuat posisinya sendiri. Ketika menumbangkan Bung Karno,
Suharto menggalang kekuatan militer, teknokrat pro-kapitalisme, dan
ormas keagamaan, terutama umat Islam, untuk menghancurkan komunisme.
Namun setelah berkuasa, umat Islam ditinggalkan. Suharto malah
merangkul kekuatan salibis faksi Pater Beek SJ dan juga CSIS di mana
Ali Moertopo menjadi sesepuhnya, dan kemudian di era 1980-an akan
muncul tokoh sentral Islamophobia, murid Ali Moertopo, bernama Jenderal
Leonardus Benny Moerdhani.
Dengan dukungan penuh terutama dari
militer—tentu ada harga yang harus dibayarkan oleh Suharto, yakni
membagi kue KKN kepada para perwiranya—maka kekuatan sipil tidak ada
artinya. Siapa pun yang berseberangan dengannya, maka langsung dicap
sebagai Anti Pancasila. Selama periode 1970-awal 1980-an, tidak ada
kekuatan sipil yang berarti yang mampu menentang Suharto. Bayang-bayang
pembunuhan massal yang dilakukan tentaranya Suharto pada akhir 1965
sampai awal 1966 menciptakan teror tersendiri di dalam benak rakyatnya.
Nations and Character Building yang diperjuangkan para pendiri republik ini dalam sekejap dihancurkan oleh Suharto, dan digantikan dengan Exploitation de L’homee par L’homee,
eksploitasi yang dilakukan kubu penguasa terhadap rakyat kecil. Patut
digaris-bawahi jika eksploitasi ini terus dilakukan oleh para elit
pemerintah dan juga elit parpol sampai hari ini. Tak aneh jika sekarang
ada yang berterus terang jika Suharto adalah gurunya.
Catatan hitam tentang Suharto tidak
berhenti sampai disini. Dalam penegakan Hak Asasi manusia (HAM)
misalnya, rezim Orde Baru di tahun 1980-an sangat dikenal di luar
negeri sebagai rezim fasis-militeristis, sebagaimana Jerman di bawah
Hitler, Italia di bawah Mussolini, Kamboja di bawah Polpot, dan Chile
di bawah Jenderal Augusto Pinochet. Ini ditegaskan Indonesianis asal
Perancis, Francois Raillon. Bahkan M.C.
Ricklefs, sejarawan Australia,
menyatakan jika penegakan HAM-nya rezim Suharto jauh lebih buruk
ketimbang penguasa jajahan Belanda. “Orde Baru lebih banyak melakukan
hukuman itu ketimbang pemerintah jajahan Belanda. Orde Baru mengizinkan
penyiksaan terhadap narapidana politiknya. Sentralisasi kekuasaan
ekonomi, politik, administrasi, dan militer di tangan segelintir elit
dalam pemerintahan Suharto juga lebih besar ketimbang dalam masa
pemerintahan Belanda,” tegas Ricklefs yang bertahun-tahun menelusuri
sejarah bangsa ini sejak zaman masuknya Islam.
Dalam tulisan selanjutnya akan
dipaparkan satu-persatu “prestasi” rezim Suharto dalam penegakan hak
asasi manusia, terutama yang menyangkut umat Islam, hubungan haramnya
dengan Zionis-Israel, dan banyak lagi yang lainnya.
Catatan atas kejahatan HAM rezim
Suharto akan dimulai dari wilayah paling timur negeri ini, yakni
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kejahatan HAM atas Muslim Aceh diawali
oleh VOC Belanda, diteruskan oleh rezim Orde Lama Soekarno, dan
ditindas lebih kejam lagi di masa kekuasaan Suharto. Bahkan di zaman
Jenderal Suharto-lah, NAD yang sangat berjasa dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan RI—terutama dari segi finansial, sebab itu
NAD juga disebut sebagai ‘Lumbung Uang RI’—malah dijadikan lapangan
tembak dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM), 1989-1998.
NAD merupakan daerah yang sangat kaya
dengan sumber daya alamnya, yakni minyak dan gas bumi. Sampai dengan
akhir dasawarsa 1980-an, Aceh telah menyumbang lebih dari 30% total
produksi ekspor migas Indonesia. Pada 1971 di Aceh Utara ditemukan
cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar. Mobil Oil, perusahaan
tambang AS, diberi hak untuk mengekploitasinya dan dalam enam tahun
kemudian kompleks penyulingan KNG sudah beroperasi di dalam areal yang
dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di tempat yang sama,
berabad lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pase berdiri,
dan kini oleh Suharto diserahkan kekayaan alam negeri ini yang sungguh
besar kepada AS.
Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu
30 tahun sejak 1961, Asamera, suatu perusahaan minyak Kanada, telah
menggali tak kurang dari 450 sumur minyak. Sumber gas alam yang
ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih kaya dari persediaan gas
alam di Aceh Utara. Produksi Pabrik Pupuk ASEAN di Aceh hampir 90
persen diekspor, dan dari kompleks petrokimia diharapkan penjualan
kimia aromatik sebesar US$200 juta setahun. Pabrik Kertas Kraft Aceh
juga sudah mulai memproduksi kertas karung semen sejak 1989. Dari
penghematan impor pembungkus semen saja pemerintah sudah memperoleh
laba US$89 juta setahun, sedang ekspor kertas semen menghasilkan US$43
juta. Pada 1983 Aceh menyumbang 11 persen dari seluruh ekspor
Indonesia.
Suharto sangat tahu jika kekayaan alam
Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu, dengan amat rakus rezim Orde Baru
terus-menerus menguras kekayaan alam ini. Ironisnya, nyaris semua
keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam Aceh ini
dibawa kabur ke Jakarta. Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa. Mereka
tetap tinggal dalam kemiskinan dan kemelaratan. Pemerintah Jakarta
bukannya mengembalikan uang Aceh ke rakyat Aceh sebagai pemilik yang
sah, tapi malah mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh
yang sudah tidak berdaya.
Dalam dasawarsa 1990-an, dari 27
provinsi di Indonesia, Aceh menempati posisi provinsi ke-7 termiskin di
seluruh Indonesia. Lebih dari 40 persen dari 5.643 desa di Aceh telah
jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hanya 10 persen pedesaan Aceh
menikmati aliran listrik. Di kawasan ZIL hanya 20% penduduk yang
mendapat saluran air bersih. Yang lain mendapat pasok air dari sumur
galian yang sering tercemar oleh limbah zona industri.
Peneliti AS, Tim Kell, dalam laporannya
menulis, “Friksi dan perbenturan nilai pun terjadi antara penduduk asli
dan pendatang. Para migran menenggak bir, berdansa-dansi, melambungkan
harga-harga di pasar. Mereka hidup mewah di kolam kemiskinan rakyat
Aceh. Limbah industri mencemari tanah dan masuk ke sumur-sumur penduduk
asli. Polusi meluas ke laut, merusak lahan nelayan. Pengangguran
meningkat. Pemiskinan berlanjut. Industrialisasi gagal merombak struktur
perekonomian rakyat Aceh secara fundamental, karena ia memang tak
pernah menjadi bagian dari perekonomian asli rakyat Aceh”. Inilah salah
satu “hasil” pembangunan rezim Suharto di Aceh.
Secara obyektif Tim Kell melanjutkan,
“Pada tahun-tahun 1940-an para ulama PUSA sudah kecewa atas tak
diterapkannya hukum Islam di seluruh Indonesia. Pada 1950, status Aceh
sebagai provinsi dicabut dan dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara.
Pemerintahan sipil, pertahanan, dan perekonomian, diambil dari ruang
lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas perlakuan semacam ini, dan
kecemasan akan kehilangan identitasnya, mengantar Aceh ke pemberontakan
1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh.”
Di bawah rezim Suharto, jenderal ini
membawa ideologi pembangunan dan stabilitas politik, dan dengan
kacamata kuda yang “sentralistik-Majapahit”, Suharto mengangap sama
semua orang, semua daerah, semua suku, semua organisasi, termasuk Aceh.
Suharto menganggap semuanya itu sama saja dengan “Majapahit”. Status
"istimewa" sebagai negeri Islam Aceh pun dihabisi. Otonomi Aceh di
bidang agama, pendidikan, dan hukum adat, sebagaimana tercantum dalam
UU No.5/1974 tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah, pada kenyataannya
keistimewaan Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas. Gubernur dipilih
hanya dengan persetujuan Suharto, Bupati hanya bisa menjabat dengan
restu Golkar. Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak
cukup terhormat untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah
Militer dipindahkan ke Medan.
Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang
notabene direstui Suharto mewajibkan semua murid sekolah dasar Islam
untuk mampu membaca Al-Qur'an. Peraturan ini dikecam oleh para pejabat
di Jakarta. Bahkan Depdikbud mengirim tim untuk menyelidiki
"penyelewengan" ini. Beberapa bulan kemudian pejabat Dikbud kabupaten
melonggarkan peraturan yang melarang murid perempuan memakai jilbab ke
sekolah. Kepada murid yang ingin berjilbab diizinkan untuk menyimpang
dari peraturan tersebut. Pemerintah Jakarta bereaksi keras atas
pelonggaran ini. Peraturan nasional harus dipatuhi secara nasional,
tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Suharto di Aceh.
Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel
telah menulis bahwa orang akan berontak jika way of life-nya terancam
oleh perkembangan baru. Orang Aceh telah kehilangan sumber alamnya,
mata pencariannya, gaya hidupnya. Orang Aceh kehilangan suaminya,
anak-anaknya, kehilangan harapannya, kehilangan segalanya . . . Lalu
masih adakah orang yang sangat-sangat bebal yang masih saja bertanya,
“Mengapa rakyat Aceh berontak?” Rakyat Aceh jelas telah dijadikan tumbal
bagi rezim Orde Baru. Telah diperkosa habis-habisan oleh Jakarta.
Siapa pun yang punya hati nurani jelas akan mendukung sikap rakyat Aceh
yang menarik kembali kesediaannya bergabung dengan Republik Indonesia
jika hal seperti ini terus dibiarkan. Kesabaran itu ada batasnya!
Selain menguras habis kekayaan alam
Aceh, rezim Suharto juga melancarkan genosida atas Muslim Aceh. Yang
terkenal adalah masa DOM atau Operasi Jaring Merah (1989-1998). Banyak
peneliti DOM sepakat jika kekejaman rezim ini terhadap Muslim Aceh bisa
disetarakan dengan kekejaman yang dilakukan Milisi Serbia terhadap
Muslim Bosnia di era 1990-an. Wilayah NAD yang sangat luas, sekujur
tanahnya dijadikan kuburan massal di sana-sini. Muslim Aceh yang
berabad-abad hidup dalam izzah Islam, dihinakan oleh rezim fasis
Suharto serendah-rendahnya.
Al-Chaidar, putera Aceh yang menjadi
peneliti sejarah tanah kelahirannya, menyatakan, “Jika Kamboja di bawah
rezim Pol Pot dikenal memiliki The Killing Fields atau Ladang
pembantaian, maka di Aceh dikenal pula Bukit Tengkorak. Di Aceh,
jumlah ladang pembantaian yang besar ada 35 titik, ini jauh lebih
banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja.”
Begitu banyak pameran kekejaman dan
kebiadaban yang ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh rezim Suharto,
sehingga jika dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh
akan menyamai tebalnya jumlah halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah
sebelum dibakar habis pasukan Mongol.
Dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh,
salah satunya adalah tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah, pemimpin
Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli
1999. Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah dicabut, namun kekejaman
dan kebiadaban yang menimpa Muslim Aceh tidaklah surut. Tragedi yang
menimpa Tengku Bantaqiah dan santrinya merupakan bukti.
Lengsernya Suharto pada Mei 1998 tidak
berarti lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan represif ala Orde Baru.
Para presiden setelah Suharto seperti Habbie, Abdurrahman Wahid,
Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya pada kenyataannya
malah melestarikan sistem Orde Baru ini. Salah satu buktinya adalah KKN
yang di era reformasi ini bukannya hilang namun malah tetap abadi dan
berkembang penuh inovasi.
Sebab itulah, dicabutnya status DOM di
Aceh pada 1998 tidak serta-merta tercerabutnya teror dan kebiadaban
yang selama ini bergentayangan di Aceh. Feri Kusuma, salah seorang
aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh
menulis secara khusus tentang Tragedi Tengku Bantaqiah ini. Dalam
artikel berjudul ‘Jubah Putih di Beutong Ateuh’, Feri mengawali dengan
kalimat, “Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini
dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi.
Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh,
Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak. Kondisi geografisnya cocok
untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah. Di daerah
yang terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang
sejuk dan jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh
termasuk gugusan Bukit Barisan…”
Eramuslim yang pernah mengunjungi hutan
belantara ini di tahun 2001, dua tahun setelah tragedi, menjumpai
kondisi yang sangat mengenaskan. Bukan saja di Beutong Ateuh, namun
juga nyaris di seluruh wilayah NAD. Kemiskinan ada di mana-mana,
padahal tanah Aceh adalah tanah yang sangat kaya raya dengan sumber
daya alamnya. Jakarta telah menghisap habis kekayaan Aceh!
Beutong Ateuh terletak di perbatasan
Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ule Jalan ke Beutong Ateuh, kita akan
melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal
kebun kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang
papan pengumuman berisi tulisan “TEMPAT LATIHAN PERANG TNI”. Sekitar
10 kilometer dari kompi itu terpancang sebuah petunjuk jalan yang
bertuliskan “SIMPANG CAMAT”; tanda menuju ke sebuah pemukiman. Namun
tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini. Sejauh mata memandang hanya
tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga.
Tak heran jika hutan Cut Nyak Dien dan pasukannya memilih hutan ini
sebagai pertahanan terakhir.
Walau berjarak lebih kurang 15 kilometer
dari hutan ini, namun Kecamatan Beutong Ateuh tidak berbeda dengan
hutan Simpang Camat. Di tengah-tengah hutan, kain putih usang terlihat
berkibaran di areal Dayah. Kubah mushola, atap beberapa rumah, dan
bilik pengajian yang berhadapan langsung dengan sungai Beutong terlihat
jelas.
Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di
desa Blang Meurandeh pada 1982 dan memberinya nama Babul Al Nurillah.
Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama yang
disegani dan dihormati. Disini, Dayah Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu
agama, seni bela diri, dan juga berkebun dengan menanam berbagai macam
sayuran untuk digunakan sendiri.
Kegiatan di Dayah ini tidak berbeda
dengan pesantren lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Selain mereka
yang menetap di Dayah, ada pula orang-orang yang sengaja datang dan
belajar agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih
banyak daripada santri yang tinggal di pesantren.
Di Dayah ini, para santrinya kebanyakan
adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan tak terpuji di
masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang
merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak. “Menurut Tengku
Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid,
justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak. Itulah
dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid di
sini,” tulis Feri Kusuma.
Bantaqiah adalah ulama yang teguh
pendirian, sederhana, dan tidak goyah dengan godaan dunia. Baginya,
dunia ada di dalam genggamannya, bukan di hatinya. Mungkin sebab itu
dia pernah menolak bergabung sebagai anggota MUI cabang Aceh. Bantaqiah
juga tidak bersedia masuk ke dalam partai politik mana pun. Baginya,
Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak untuk yang lain. Sebab itu,
Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang berseberangan dengan dirinya.
Ia dituduh mengajarkan kesesatan dan pada 1985 dicap dengan sebutan
Gerombolan Jubah Putih.
Pemerintah Aceh berusaha melunakkan
sikap Bantaqiah dengan membangunkan sebuah pesantren untuknya, namun
lokasinya di kecamatan Beutong Bawah, jauh dari Babul Al Nurillah. Ini
membuatnya menolak “pesantren sogokan” tersebut. Hal ini membuat
hubungan Bantaqiah dengan Pemerintah setempat kurang harmonis. Dia
dituduh sebagai salah satu petinggi GAM pada 192 dan dijebloskan ke
penjara dengan hukuman 20 tahun.
Ketika Habibie menggantikan Suharto dan
menyempatkan diri ke Aceh, Bantaqiah dibebaskan. Namun hal ini rupanya
tidak berkenan di hati tentara hasil didikan rezim Suharto.
Di mata tentara, Bantaqiah adalah sama
saja dengan kelompok-kelompok bersenjata Aceh yang tidak mau menerima
Pancasila. Sebab itu keberadaannya harus dienyahkan dari negeri
Pancasila ini. Para tentara Suharto itu lupa, berabad-abad sebelum
Pancasila lahir, berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik
Indonesia lahir, Nanggroe Aceh Darussalam sudah menjadi sebuah negeri
merdeka dan berdaulat lengkap dengan Kanun Meukota Alam, sebuah
konstitusi yang sangat lengkap. Bahkan jauh lebih lengkap ketimbang UUD
1945 yang diamandemen di tahun 2002.
Sebab itu, pada Kamis, 22 Juli 1999,
pasukan TNI yang terdiri dari berbagai kesatuan seperti angkatan darat
dan Brimob mendirikan banyak tenda di sekitar pegunungan Beutong Ateuh.
Walau warga setempat curiga, karena pengalaman membuktikan, di mana
aparat bersenjata hadir dalam jumlah banyak, maka pasti darah rakyat
tumpah, namun warga tidak bisa berbuat apa-apa. Firasat warga sipil
terbukti. Tiba-tiba di hari itu juga terjadi insiden penembakan
terhadap warga yang tengah mencari udang. Satu luka dan yang satu lagi
berhasil menyelamatkan diri masuk hutan. Teror ini meresahkan warga.
Sedari subuh keesokan harinya, Jumat
pagi, 23 Juli 1999, TNI dan Brimob sudah bergerak diam-diam mendekati
pesantren dengan perlengkapan tempur garis pertama, yang berarti
senjata api sudah terisi amunisi siap tembak. Pukul 08.00 tentara dan
Bribom sudah berada di seberang sungai dekat pesantren. Dengan alasan
mencari GAM, pada pukul 09.00 mereka membakar rumah penduduk yang
letaknya hanya 100 meter di timur pesantren. Satu jam kemudian, pasukan
tersebut mulai bergerak ke pesantren. Dengan seragam tempur lengkap
dengan senjata serbu laras panjang, wajah dipulas dengan cat kamuflase
berwarna hijau dan hitam, mereka mengepung pesantren dan
berteriak-teriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya segera
menemui mereka.
Menjelang waktu sholat Jumat, para
santri biasa berkumpul dengan Tengku Bantaqiah guna mendengar segala
nasehat dan ilmu agama. Mendengar teriakan dari tentara yang
menyebut-nyebut namanya, Bantaqiah pun datang bersama seorang muridnya.
Aparat bersenjata itu tidak sabaran. Mereka merangsek ke dalam dan
memerintahkan semua santri laki-laki untuk berkumpul di lapangan dengan
berjongkok menghadap sungai.
Aparat dengan suara keras dan mengancam
meminta agar Bantaqiah menyerahkan senjata apinya. Tengku Bantaqiah
bingung karena memang tidak punya senjata apa pun, kecuali hanya pacul
dan parang yang sehari-hari digunakan untuk berkebun dan membuka hutan.
Aparat tidak percaya dengan semua keterangan Bantaqiah. Sebuah antena
radio pemancar yang terpasang di atap pesantren dijadikan bukti oleh
aparat jika selama ini Bantaqiah menjalin komunikasi dengan GAM. Padahal
itu antene radio biasa.
“Komandan pasukan memerintahkan agar
antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra Bantaqiah yang bernama
Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan menuju
rumahnya untuk mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah
yang jaraknya hanya tujuh meter dari tempat tentara mengumpulkan para
santri, seorang anggota pasukan memukul Usman dengan popor senapan,”
tulis Feri Kusuma, aktivis Kontras Aceh, berjudul “Jubah Putih di
Beutong Ateuh”.
Melihat anaknya terjatuh, secara refleks
Bantaqiah berlari mendekatnya hendak menolong. Tiba-tiba tentara
memberondongnya dengan senjata yang dilengkapi pelontar bom. Bantaqiah
dan puteranya syahid. Dengan membabi-buta, aparat murid dari Jenderal
Suharto ini mengalihkan tembakan ke arah kumpulan santri. Lima puluh
enam santri langsung syahid bertumbangan. Tanah Aceh kembali disiram
darah para syuhadanya. Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan
alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris
lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh
Tengah, yang berada di tengah rimba.
Di tengah perjalanan menuju Takengon,
para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka diperintahkan
berjongkok di tepi jurang. Tiba-tiba salah seorang santri langsung
terjun ke jurang dan menghilang dalam rimbunan hutan lebat di bawah
sana. Para tentara mengguyur jurang itu dengan tembakan. Nasib para
santri yang tersisa tak diketahui sampai kini. Kuat dugaan, para santri
ini dibantai aparat Suharto dan dibuang ke jurang.
Sore hari, tentara memerintahkan warga
setempat untuk menguburkan jasad yang ada. Para perempuan digiring
menuju mushola yang ada di seberang sungai dan dilarang melihat prosesi
penguburan. Aparat bersenjata ini kemudian mengamuk di pesantren.
Mereka merusak dan menghancurkan semua yang ada, mereka membakar
kitab-kitab agama termasuk kitab suci al-Quran dan surat Yasin yang ada
di pesantren. Setelah puas membakar ayat-ayat Allah, aparat bersenjata
didikan Suharto ini, kemudian kembali ke barak dengan sejumlah truk,
meninggalkan warga yang tersisa yang hanya bisa menangis dan berdoa.
Setelah tragedi tersebut, warga Beutong
Ateuh hanya bisa pasrah berdiam diri. Dengan segenap daya dan upaya,
para santri yang tersisa—kebanyakan perempuan tua dan anak-anak
kecil—membangun kembali pesantren tersebut dan meneruskan pendidikan
dengan segala keterbatasan. Sampai kini, pesantren ini belum memiliki
cukup dana untuk mengganti seluruh al-Quran, kitab-kitab kuning, dan
surat-surat Yassin yang dibakar aparat. Juga barang-barang lain seperti
seluruh pakaian, kartu tanda pengenal, dan sebagainya yang musnah
terbakar. Sampai detik ini, tidak ada seorang pun pelaku pembantaian
terhadap Tengku Bantaqiah dan santri Beutong Ateuh yang diseret ke
pengadilan. Tidak ada satu pun komandan tentara yang dimintai
pertanggungjawaban atas ulahnya membakar kitab suci Al-Qur’an dan surat
Yassin, sampai hari ini. Para pelakunya masih bebas berkeliaran.
Mungkin tengah menanti hukum Allah SWT atas ulah mereka. Sama seperti
guru mereka: Jenderal Suharto.
Tragedi Beutong Ateuh hanyalah satu di
antara jutaan tragedi kekejaman rezim Suharto terhadap Muslim Aceh.
Anehnya, sampai detik ini tidak ada satu pun pejabat pemerintah, sipil
maupun militer, yang terlibat kejahatan HAM sangat berat atas Muslim
Aceh yang diseret ke pengadilan. Mereka masih bebas berkeliaran dan
bahkan banyak yang masih bisa hidup mewah dengan menikmati kekayaan
hasil jarahan atas kekayaan bumi Aceh. Dalam tulisan berikutnya akan
dipaparkan kejahatan-kejahatan HAM Suharto lainnya terhadap umat Islam,
seperti Tragedi Tanjung Priok, Lampung, dan lainnya.
Pada awal 1980-an, rezim Suharto
menghendaki agar Pancasila dijadikan satu-satunya asas bagi seluruh
partai politik dan organisasi kemasyarakatan yang ada di Indonesia. MPR
akhirnya mengukuhkan Pancasila sebagai asas tunggal (astung) di
Indonesia lewat Tap MPR No.11/1983 yang dituangkan dalam UU No.3/1985
tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta UU No.8/1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan. Penetapan Pancasila sebagai astung menuai
badai kontroversi di tengah masyarakat, terutama bagi umat Islam karena
hal tersebut telah nyata-nyata mengganggu akidah umat Islam. Walau ada
elemen umat Islam yang mau tunduk pada keinginan rezim fasis ini,
namun di berbagai tempat aksi unjuk rasa menentang ditetapkannya
Pancasila sebagai astung meledak di mana-mana. Para ulama dan dai yang
iman dan akidahnya masih lurus dan bersih, dengan tegas mengatakan jika
astung bertentangan dengan akidah Islam, sebab itu wajib hukumnya
menolak.
Apalagi langkah-langkah Jenderal Suharto
ini lama-kelamaan mirip dengan apa yang dilakukan para pemimpin
komunis di negaranya. Jika negara komunisme memiliki partai negara yang
bertindak sebagai buldoser suara rakyat, maka Golongan Karya di masa
Suharto pun demikian. Jika negara komunisme mengkultuskan pemimpinnya
dan siapa pun yang berseberangan dengannya dihabisi, demikian pula
dengan yang dilakukan Suharto.
Bukan itu saja, di mulut penguasa fasis
ini, Indonesia katanya berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, namun
kenyataannya rakyat kian banyak yang hidup melarat, umat Islam dipaksa
ikut program KB, di bidang ekonomi pengusaha sipit diberi keistimewaan
bahkan dengan mematikan pengusaha-pengusaha pribumi sekali pun, KKN di
sekitar Suharto gila-gilaan, penembakan misterius yang direstui Suharto
pun tengah meraja-lela, dan sebagainya. Apalagi saat itu Jenderal
Leonardus Benny Moerdhani yang dikenal sebagai jenderal islamophobia
sedang jadi anak emas Suharto, umat Islam terus-menerus ditindas.
Salah satu wilayah yang paling berani
menyuarakan kebenaran, menentang sikap represif rezim ini adalah
Tanjung Priok di Jakarta Utara. Para ulama dan dai setempat berkotbah
dan menyerukan agar umat Islam agar berani untuk kembali ke akidah
Islam yang sebenarnya, dan menentang thagut, dan melawan segala bentuk
kesewenang-wenangan, seperti halnya Musa a.s. menentang dan melawan
kediktatoran Firaun.
Dalam situasi panas seperti inilah, pada
Senin, 10 September 1984, Sersan Hermanu yang non-Muslim, Babinsa
setempat, tiba-tiba menyiram air got ke dinding Mushola Asy-Syahadah di
Gang IV Priok. Hermanu juga masuk mushola tanpa melepas sepatu larsnya
dan meninginjak-injak semua yang ada termsuk menginjak-injak
Al-Qur’an. Di saat Suharto berkuasa, menginjak-injak Al-Qur’an, bahkan
membakarnya sekali pun, adalah hal yang biasa.
Atas kelakuan Hermanu, warga marah.
Diseretlah motornya dan dibakar. Babinsa itu kabur. Tak lama kemudian,
empat pengurus mushola diciduk aparat. Saat itu tersiar kabar jika
penembak misteriusnya Benny Moerdhany akan menghabisi para mubaligh.
Ini kian memanaskan situasi.
Ba’da Maghrib, Rabu, 12 September 1984,
usai hujan, digelar tabligh akbar di Jalan Sindang guna menuntut Kodim
membebaskan empat pengurus mushola yang ditahan. Amir Biki berpesan
pada Yayan Hendrayana, salah seorang mubaligh, “Jangan takut-takut
ngomong.” Akhirnya Yayan yang mendapat kesempatan keempat berteriak
lantang, “Man Anshoru ilallah!?” Siapa yang sanggup membela agama Allah!? Dijawab para jamaah, “Nahnu anshorullah!” Kami sanggup!
Jamaah berjubel malam itu memenuhi lorong-lorong dan jalan di Priok. Tak kurang dari delapan puluh buah speaker
dipasang. Puluhan ribu warga Priok memadati jalan. Banyak di antaranya
ibu-ibu dan gadis-gadis berjilbab, sesuatu pemandangan yang masih asing
di tahun itu. Entah mengapa, malam itu Yayan Hendrayana memiliki
firasat jika nanti sesuatu akan terjadi. Sebab itu dia memerintahkan
agar para perempuan dan anak-anak segera menyisih dari jamaah dan
segera masuk rumah terdekat jika terjadi apa-apa.
“…Sebab nanti tentaranya Benny akan
membantai saudara-saudara sekalian!” ujar Yayan saat bercerita pada
penulis di tahun 1998. “Padahal saya tidak tahu bila nanti benar-benar
terjadi pembantaian. Saya ngomong begitu saja,” tambahnya.
Usai Yayan, Syarifin Maloko naik podium.
Lalu Amir Biki. Tokoh Priok ini berkata lantang, “Saudara-saudara,
para ikhwan hamba Allah. Ternyata hingga kini tidak ada jawaban dari
Kodim. Ini berarti kita harus konsekuen dengan janji kita. Kepada
saudara-saudara, saya titip keluarga saya. Andai saya terbunuh malam
ini, tolong mayat saya diarak le seluruh Jakarta!
Jarum jam sudah menunjuk angka sebelas.
Puluhan ribu jamaah Priok segera bergerak mendekati Kodim agar mau
memberikan jawaban. Namun tiba-tiba, terdengar rentetan tembakan.
Jamaah yang berada di barisan depan bertumbangan di aspal. Genangan air
hujan yang masih tersisa di aspal seketika berubah warna menjadi
merah. Situasi kacau. Tentara masih melepaskan rentetan tembakan dengan
laras senjata lurus menghadap jamaah. Ratusan jamaah Priok meregang
nyawa. Setelah jalanan sepi, ratusan mayat yang bergelimpangan di jalan
segera diangkut truk tentara, entah dibawa kemana. Mobil pemadam
kebakaran mondar-mandir menyemprotkan air ke aspal untuk menghilangkan
genangan darah yang ada di sana-sini. Aparat berjaga di semua tempat
strategis dengan senjata siap tembak.
Pembantaian ratusan jamaah pengajian
Priok oleh tentaranya rezim Suharto ini menimbulkan kemarahan umat
Islam di Indonesia. Untuk meredakannya, Benny Moerdhani menggandeng
Abdurrahman Wahid keliling pesantren di Jawa. Sedang Pangdam Jaya Try
Sutrisno mengamankan ibukota dari ekses tragedi besar tersebut. Tidak
ada media massa yang berani memuat tragedi tersebut dengan sebenarnya.
Sejumlah tokoh Priok yang berhasil lolos
dikejar dan ditangkap. Para ustadz dan aktivis Islam memenuhi penjara.
Siksaan bathin dan fisik mereka alami. Ba’da Priok, aktivitas dakwah
Islam benar-benar ditindas. Sedang pemurtadan meraja-lela. Inilah salah
satu bentuk kekejaman rezim Suharto terhadap dakwah Islam. Sampai
detik ini penegakan hukum atas Tragedi Priok masih belum tuntas.
Misteri gelap masih menyelubunginya.
Dalam tahanan rezim Suharto, penyiksaan
sudah menjadi santapan keseharian. “Ustadz Zubir dari Kalibaru disiksa
terus hingga dia meninggal dunia. Seorang tapol Islam bernama Robby
giginya digerus pakai gagang pistol, nyaris rontok semua. Sedang Tasrif
Tuasikal, terpidana kasus Priok, dadanya ditusuk bayonet. Alhamdulillah, dia kuat,” ujar Hasan Kiat kepada penulis pada tahun 1998.
Oleh aparatnya Suharto, walau tahu jika
para tahanannya adalah orang-orang shalih, para ustadz, para aktivis
masjid, dan sebagainya, namun untuk memberatkan mereka, aparat berusaha
keras mengkaitkan mereka ini dengan PKI. Ini dinyatakan Hasan Kiat
yang mengalami sendiri hal seperti itu.
Hijrah ke Lampung
Karena kondisi Jakarta khususnya dan
Jawa pada umumnya sangat represif bagi dakwah Islam, sedangkan
kemaksiatan tambah lama tambah meraja-lela, hal ini membuat sekelompok
aktivis dakwah mengambil keputusan untuk melakukan hijrah. Lampung
menjadi tujuannya. Di tanah ini mereka bercita-cita membuka lahan baru,
membangun rumah dan perkampungan, lengkap dengan mushola sebagai
tempat ibadah dan belajar ilmu agama. Sebuah perkampungan islami,
demikian harapan mereka.
Sukardi merupakan salah seorang aktivis
dakwah yang memiliki harapan itu. Pemilik optik ‘Nusa Indah’ di Priok
ini aktif di pengajiannya Nur Hidayat, seorang mantan atlet karateka
nasional. Pada tahun 1988, seorang sahabatnya bernama Haryanto
menyatakan jika mereka akan hijrah ke Lampung, tepatnya di Dukuh
Cihideung, Dusun Talangsari III, Lampung.
“Saya lalu rembukan dengan isteri.
Isteri saya hanya berkata, ‘Jika memang itu berada di jalan Allah, saya
siap kemana saja berangkat,” tutur Sukardi kepada penulis saat bertemu
pada 1998. Akhirnya semua kacamata dagangan dilelang murah.
Pada 10 Januari 1989, Sukardi memboyong
Ismawati (20 th) sang isteri, dua anaknya yang masih kecil (Eka
Triyani, 5 th, dan Ahmad Daulatul Indi, 3 th), serta seorang ipar,
Sumarni (19 th).
“Bersama sepuluh keluarga saya berangkat
ke Lampung. Yang hijrah tahap pertama ini orang-orang lapangan semua.
Kami bukan pendakwah. Jadi kita-kita ini yang membuka lahan,” ujar
Sukardi.
“Duapuluh hari pertama tak ada kegiatan
apa-apa. Kami hanya mengerjakan ibadah rutin dan menanam singkong.
Informasi dari Jakarta yang menyatakan Lampung sudah siap huni ternyata
belum apa-apa. Gelombang demi gelombang orang-orang Jakarta datang ke
Lampung dan bergabung bersama kami,” lanjutnya.
Di saat itu, sosok perempuan berjilbab
merupakan suatu keanehan. Sebab itu, kedatangan para perempuan
berjilbab di Lampung disikapi oleh para warga asli, terlebih aparat
pemerintah daerahnya, sebagai sesuatu yang harus diwaspadai. Kepala
desa setempat pun melayangkan surat aduan kepada Camat Zulkifli Malik.
Tak lama kemudian surat dari Camat Zulkifli datang mengundang Warsidi,
pimpinan jamaah, agar datang ke kantor kecamatan.
“Entah apa isi surat aduan dari kepala
desa itu. Namun surat undangan dari camat sangat mencurigakan. Apalagi
kami sudah mendengar kabar jika Pak Warsidi akan ditangkap,” papar
Sukardi.
Akhirnya setelah bermusyawarah, jamaah
sepakat untuk mencegah Warsidi menghadap Camat. Sebagai gantinya dibuat
surat yang ditulis oleh ipar Sukardi, Sumarni, yang berbunyi:
“Sebaik-baiknya umaro adalah yang mendatangi ulama. Dan
seburuk-buruknya ulama adalah yang mendatangi umaro.” Lalu dilanjutkan
dengan kalimat, “…mengingat kesibukan kami mengisi pengajian di
beberapa tempat, maka kami mohon agar Bapak bisa datang sendiri ke
tempat kami untuk melihat sendiri kondisi sebenarnya.”
Tak lama kemudian Camat dikawal beberapa
aparat datang menemui Warsidi. Lalu Camat itu mengundang kembali
Warsidi agar datang ke tempatnya. Jamaah menolak. Situasi memanas.
Setelah rombongan camat pulang, Warsidi memerintahkan agar jamaah
mempersiapkan bila kondisi memburuk.
“Akhirnya saya dan kawan-kawan bikin
panah di satu tempat di luar Cihideung. Tiba-tiba datang utusan Pak
Warsidi yang bilang jika pada tanggal 15 Februari nanti tentara akan
menyerang desa kami. Akhirnya kami balik ke Cihideung. Ada yang bilang
kami berlatih bela diri, latihan memanah, itu bohong semua. Kami malah
tidak mau ada konfrontasi dengan aparat di sini. Kami hanya ingin
membangun satu perkampungan yang islami, jauh dari kemaksiatan,” tambah
Sukardi.
Pada 3 Febrari 1989, Danramil Kapten
Soetiman datang sendirian naik motor ke Cihideung. Jamaah menerimanya
dengan baik. Jamaah malah menerangkan cara bercocok tanam lada yang
baik. Tak lama kemudian Kapten Soetiman pulang. Situasi tetap berjalan
biasa.
Lima hari kemudian, 7 Februari 1989,
sepasukan tentara bersenjata lengkap menyerbu Cihideung. Jamaah Warsidi
yang tidak pernah menduga akan hal itu berlarian menyelamatkan diri
sambil berteriak, “Allahu Akbar!” Para perempuan dan anak-anak kecil
berlarian menuju mushola yang dianggapnya aman. Rumah Allah tidak akan
mungkin diserang, pikir mereka. Namun perkiraan mereka ternyata salah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar